Informasi

Home /Tantrum Pada Anak


Tantrum Pada Anak 2024-10-17

Perkembangan era teknologi pada saat ini membawa kita semua pada dunia media sosial dengan banyak platform. Media sosial menjadi “wadah” berbagi semua hal, sehingga tak jarang pula, terlihat pula video pendek anak-anak yang sedang menangis ataupun marah yang disematkan istilah “nge-reog” atau “tantrum”. Istilah “tantrum” pun seringkali dipakai oleh generasi muda jika mereka berhadapan dengan orang lain (remaja-dewasa) yang mudah marah atau bereaksi secara “berlebihan”.

Apa itu tantrum?

Tantrum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI, artinya kemarahan dengan amukan karena ketidakmampuan mengungkapkan keinginan atau kebutuhan dengan kata-kata, biasanya dilakukan oleh anak-anak. Tantrum merupakan episode singkat dari bentuk perilaku ekstrim, perilaku tidak menyenangkan dan terkadang perilaku agresif yang muncul sebagai respon dari rasa frustrasi dan kemarahan (Sisterhen, L dan Wy, P, 2023, National Library of Medicine). Tantrum juga dapat disebut sebagai “ledakan emosi” yang terlihat dalam bentuk perilaku akibat tidak “terpenuhinya” kebutuhan atau keinginan anak.

Tantrum biasanya mulai terlihat pada anak usia 12 – 18 bulan (Kaneshiro,N.K, 2023, National Library of Medicine), menjadi lebih “parah” di usia 2-3 tahun dan biasanya berkurang hingga anak berusia 4 tahun. Namun demikian, tantrum juga dapat terlihat pada usia anak-anak yang lebih besar maupun remaja. Pemicu-nya dapat berupa kendala atau kesulitan yang mereka alami di situasi Sekolah atau lingkungan, sehingga mereka merasa frustrasi dan marah. Kurangnya kemampuan mereka untuk melakukan regulasi diri juga turut “memperparah” perilakunya.

Perilaku tantrum sendiri seringkali muncul pada situasi yang dirasa “sepele” (kurang penting) dan dapat menyebabkan orangtua (keluarga) maupun pengasuh menjadi stress. Perilaku tantrum biasanya berupa: menangis, berteriak, melangkah gontai seakan terluka, menggerakkan tangan-kaki tak tentu arah secara “heboh”, memukul, melempar barang, menahan napas, mendorong, menendang, menggigit, meludah, menjambak ataupun mencubit. Misalnya ketika anak diminta untuk turun dari mainan yang dinaiki di area playground (mall), anak bisa tiba-tiba nangis jerit-jerit dan memukuli ibunya. Tingkat keparahan, frekuensi dan durasi tantrum pada anak-anak tipikal (normal) biasanya akan menurun seiring dengan usia anak. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa ada kondisi dimana tingkat tantrum anak menjadi semakin meningkat (lebih parah, lebih lama dan lebih sering). Jika tantrum berlangsung berkepanjangan dan tidak terlihat adanya perubahan, maka hal ini dapat menjadi masalah perilaku, yang menjadi “catatan” bagi orangtua.

 
   

Pola asuh orangtua (keluarga) yang tidak konsisten serta kerap “menuruti” kemauan anak, dapat berpengaruh pada pembentukan kebiasaan anak. Jika anak telah terbiasa untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan, maka saat anak ingin sesuatu, ia harus mendapatkannya saat itu juga tanpa terkecuali (tidak ada kata “tidak” ataupun penundaan). Anak sebenarnya belum dapat membedakan situasi dan kondisi yang ada, sehingga ia akan “menuntut” hal yang sama pada semua orang. Sedangkan di dunia riil, anak perlu belajar adanya aturan dasar di tempat umum (sosial). Tantrum akan muncul saat anak frustrasi /marah akibat tidak memperoleh apa yang diinginkan. Pada awalnya hal tersebut merupakan luapan emosinya, namun ketika anak mendapatkan apa yang ia inginkan dengan ia tantrum, maka tantrum tersebut akan “berubah fungsi”.

 

Tantrum dapat menjadi sebuah alasan (“senjata”) yang dapat anak-anak gunakan untuk mempengaruhi orang lain, dalam hal ini untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Perilaku yang kurang tepat akan terulang terus-menerus dan menjadi semacam lingkaran. Anak menjadi tidak belajar untuk mengikuti aturan sosial, “semaunya sendiri” bahkan dapat “menyakiti/melukai” orang lain. Pada akhirnya anak kurang memiliki kesempatan untuk belajar mengelola emosinya dan dapat berdampak pada tumbuh kembangnya di kemudian hari.

Orangtua ataupun pengasuh (keluarga) perlu memahami penyebab anak tantrum, agar dapat mereka dapat bereaksi secara tepat ketika menghadapi anak yang sedang tantrum.

Penyebab anak tantrum adalah:

Anak-anak seringkali masih kesulitan untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan secara verbal (lisan) dan belum mengembangkan ketrampilan untuk mengelola emosi (frustasi, marah dan kecewa). Cara mereka untuk mengekspresikan diri dan emosinya adalah melalui tantrum.

Tips bagi orangtua saat menghadapi anak tantrum

 

Apa yang harus dilakukan setelah “usai” periode tantrum?

 

Langkah pencegahan agar anak tidak tantrum

 

Oleh Lily Marlina, S.Psi, M.Psi, Psikolog

 

Buat Janji Unggulan